Rabu, 26 September 2012

Ali bin Abu Thalib ra



Ali bin Abu Thalib

Ali bin Abu Thalib
Alī bin Abu Thālib (599 – 661 H) adalah salah seorang pemeluk Islam pertama dan juga keluarga dari Nabi Rasulullah saw saw. Menurut Islam Sunni, ia adalah Khalifah terakhir dari Khulafaur Rasyidin. Sedangkan Syi’ah berpendapat bahwa ia adalah Imam sekaligus Khalifah pertama yang dipilih oleh Rasulullah saw. Uniknya meskipun Sunni tidak mengakui konsep Imamah mereka setuju memanggil Ali bin Abu Thalib dengan sebutan Imam, sehingga Ali bin Abu Thalib menjadi satu-satunya Khalifah yang sekaligus juga Imam. Ali bin Abu Thalib adalah sepupu dari Rasulullah saw, dan setelah menikah dengan Fatimah az-Zahra, ia menjadi menantu Rasulullah saw.
Perbedaan pandangan mengenai pribadi Ali bin Abu Thalib
Syi’ah berpendapat bahwa Ali bin Abu Thalib adalah khalifah yang berhak menggantikan Nabi Rasulullah saw, dan sudah ditunjuk oleh Beliau atas perintah Allah di Ghadir Khum. Syi’ah meninggikan kedudukan Ali bin Abu Thalib atas Sahabat Nabi yang lain, seperti Abu Bakar dan Umar bin Khattab.
Sebagian Sunni yaitu mereka yang menjadi anggota Bani Umayyah dan para pendukungnya memandang Ali bin Abu Thalib sama dengan Sahabat Nabi yang lain. Sunni menambahkan nama Ali bin Abu Thalib dengan Radhiyallahu Anhu (RA) atau semoga Allah melimpahkan Ridha (ke-suka-an)nya. Tambahan ini sama sebagaimana yang juga diberikan kepada Sahabat Nabi yang lain.
Sufi menambahkan nama Ali bin Abu Thalib bin Abi Thalib dengan Karramallahu Wajhah (KW) atausemoga Allah me-mulia-kan wajahnya. Doa kaum Sufi ini sangat unik, berdasar riwayat bahwa beliau tidak suka menggunakan wajahnya untuk melihat hal-hal buruk bahkan yang kurang sopan sekalipun. Dibuktikan dalam sebagian riwayat bahwa beliau tidak suka memandang ke bawah bila sedang berhubungan intim dengan istri. Sedangkan riwayat-riwayat lain menyebutkan dalam banyak pertempuran (duel-tanding), bila pakaian musuh terbuka bagian bawah terkena sobekan pedang beliau, maka Ali bin Abu Thalib enggan meneruskan duel hingga musuhnya lebih dulu memperbaiki pakaiannya.
Ali bin Abu Thalib dianggap oleh kaum Sufi sebagai Imam dalam ilmu al-hikmah (divine wisdom) dan futuwwah (spiritual warriorship). Dari beliau bermunculan cabang-cabang tarekat (thoriqoh) atauspiritual-brotherhood. Hampir seluruh pendiri tarekat Sufi, adalah keturunan beliau sesuai dengan catatan nasab yang resmi mereka miliki. Seperti pada tarekat Qadiriyah dengan pendirinya Syekh Abdul Qadir Jaelani, yang merupakan keturunan langsung dari Ali bin Abu Thalib melalui anaknya Hasan bin Ali bin Abu Thalib seperti yang tercantum dalam kitab manaqib Syekh Abdul Qadir Jilani (karya Syekh Ja’far Barzanji) dan banyak kitab-kitab lainnya.
Kelahirannya
Ali bin Abu Thalib dilahirkan di Mekkah, daerah Hejaz, Jazirah Arab, pada tanggal 13 Rajab. Menurut sejarawan, Ali bin Abu Thalib dilahirkan 10 tahun sebelum dimulainya kenabian Rasulullah saw, sekitar tahun 599 Masehi. Usia Ali bin Abu Thalib terhadap Rasulullah saw masih diperselisihkan hingga kini, sebagian riwayat menyebut berbeda 25 tahun, ada yang berbeda 27 tahun, ada yang 30 tahun bahkan 32 tahun.
Beliau bernama asli Haydar bin Abu Thalib, paman Nabi Rasulullah saw SAW. Haydar yang berartiSinga adalah harapan keluarga Abu Thalib untuk mempunyai penerus yang dapat menjadi tokoh pemberani dan disegani di antara kalangan Quraisy Mekkah. Setelah mengetahui sepupu yang baru lahir diberi nama Haydar, Nabi saw. memanggil dengan Ali bin Abu Thalib yang berarti Tinggi(derajat di sisi Allah). Ali bin Abu Thalib dilahirkan dari ibu yang bernama Fatimah binti Asad, dimana Asad merupakan anak dari Hasyim, sehingga menjadikan Ali bin Abu Thalib, merupakan keturunan Hasyim dari sisi bapak dan ibu.
Kelahiran Ali bin Abu Thalib banyak memberi hiburan bagi Nabi saw. karena beliau tidak punya anak laki-laki. Uzur dan faqirnya keluarga Abu Thalib memberi kesempatan bagi Nabi saw. bersama istri beliau Khadijah untuk mengasuh Ali bin Abu Thalib dan menjadikannya putra angkat. Hal ini sekaligus untuk membalas jasa kepada Abu Thalib yang telah mengasuh Nabi sejak beliau kecil hingga dewasa, sehingga sedari kecil Ali bin Abu Thalib sudah bersama dengan Rasulullah saw.
Dalam biografi asing (Barat), hubungan Ali bin Abu Thalib kepada Nabi Rasulullah saw dilukiskan seperti Yohanes Pembaptis (Nabi Yahya) kepada Yesus (Nabi Isa). Dalam riwayat-riwayat Syi’ah dan sebagian riwayat Sunni, hubungan tersebut dilukiskan seperti Nabi Harun kepada Nabi Musa.
Masa Remaja
Ketika Nabi Rasulullah saw .menerima wahyu, riwayat-riwayat seperti Ibnu Ishaq menjelaskan Ali bin Abu Thalib adalah lelaki pertama yang mempercayai wahyu tersebut atau orang ke 2 yang percaya setelah Khadijah istri Nabi sendiri. Pada titik ini Ali bin Abu Thalib berusia sekitar 10 tahun. Pada usia remaja setelah wahyu turun, Ali bin Abu Thalib banyak belajar langsung dari Nabi saw. karena sebagai anak asuh, berkesempatan selalu dekat dengan Nabi hal ini berkelanjutan hingga beliau menjadi menantu Nabi. Hal inilah yang menjadi bukti bagi sebagian kaum Sufi bahwa ada pelajaran-pelajaran tertentu masalah atau yang kemudian dikenal dengan istilah Tasawuf yang diajarkan Nabi khusus kepada beliau tapi tidak kepada Murid-murid atau Sahabat-sahabat yang lain.
Karena bila ilmu Syari’ah atau hukum-hukum agama Islam baik yang mengatur ibadah maupun kemasyarakatan semua yang diterima Nabi harus disampaikan dan diajarkan kepada umatnya, sementara masalah ruhani hanya bisa diberikan kepada orang-orang tertentu dengan kapasitas masing-masing. Didikan langsung dari Nabi kepada Ali bin Abu Thalib dalam semua aspek ilmu Islam baik aspek zhahir (exterior) atau syariah dan bathin (interior) atau tasawuf menggembleng Ali bin Abu Thalib menjadi seorang pemuda yang sangat cerdas, berani dan bijak.
Kehidupan di Mekkah sampai Hijrah ke Madinah
Ali bin Abu Thalib bersedia tidur di kamar Nabi untuk mengelabui orang-orang Quraisy yang akan menggagalkan hijrah Nabi. Beliau tidur menampakkan kesan Nabi saw. yang tidur sehingga masuk waktu menjelang pagi mereka mengetahui Ali bin Abu Thalib yang tidur, sudah tertinggal satu malam perjalanan oleh Nabi saw. yang telah meloloskan diri ke Madinah bersama Abu Bakar.
Perkawinan
Setelah masa hijrah dan tinggal di Madinah, Ali bin Abu Thalib dinikahkan Nabi dengan putri kesayangannya Fatimah az-Zahra yang banyak dinanti para pemuda. Nabi menimbang Ali bin Abu Thalib yang paling tepat dalam banyak hal seperti Nasab keluarga yang se-rumpun (Bani Hasyim), yang paling dulu mempercayai ke-nabi-an Rasulullah saw (setelah Khadijah), yang selalu belajar di bawah Nabi dan banyak hal lain.
Julukan
Ketika Rasulullah saw mencari Ali bin Abu Thalib menantunya, ternyata Ali bin Abu Thalib sedang tidur. Bagian atas pakaiannya tersingkap dan debu mengotori punggungnya. Melihat itu Rasulullah saw pun lalu duduk dan membersihkan punggung Ali bin Abu Thalib sambil berkata, “Duduklah wahai Abu Turab, duduklah.” Turab yang berarti debu atau tanah. Julukan tersebut adalah julukan yang paling disukai oleh Ali bin Abu Thalib.
Pertempuran yang diikuti pada masa Nabi saw
Perang Badar
Beberapa saat setelah menikah, pecahlah perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam. Di sini Ali bin Abu Thalib betul-betul menjadi pahlawan disamping Hamzah, paman Nabi. Banyaknya Quraisy Mekkah yang tewas di tangan Ali bin Abu Thalib masih dalam perselisihan, tapi semua sepakat beliau menjadi bintang lapangan dalam usia yang masih sangat muda sekitar 25 tahun.
Perang Khandaq
Perang Khandaq juga menjadi saksi nyata keberanian Ali bin Abu Thalib bin Abi Thalib ketika memerangi Amar bin Abdi Wud . Dengan satu tebasan pedangnya yang bernama dzulfikar, Amar bin Abdi Wud terbelah menjadi dua bagian.
Perang Khaibar
Setelah Perjanjian Hudaibiyah yang memuat perjanjian perdamaian antara kaum Muslimin dengan Yahudi, dikemudian hari Yahudi mengkhianati perjanjian tersebut sehingga pecah perang melawan Yahudi yang bertahan di Benteng Khaibar yang sangat kokoh, biasa disebut dengan perang Khaibar. Di saat para sahabat tidak mampu membuka benteng Khaibar, Nabi saw bersabda:
“Besok, akan aku serahkan bendera kepada seseorang yang tidak akan melarikan diri, dia akan menyerang berulang-ulang dan Allah akan mengaruniakan kemenangan baginya. Allah dan Rasul-Nya mencintainya dan dia mencintai Allah dan Rasul-Nya”.
Maka, seluruh sahabat pun berangan-angan untuk mendapatkan kemuliaan tersebut. Namun, ternyata Ali bin Abu Thalib yang mendapat kehormatan itu serta mampu menghancurkan benteng Khaibar dan berhasil membunuh seorang prajurit musuh yang berani bernama Marhab lalu menebasnya dengan sekali pukul hingga terbelah menjadi dua bagian.
Peperangan lainnya
Hampir semua peperangan beliau ikuti kecuali perang Tabuk karena mewakili nabi Rasulullah saw untuk menjaga kota Madinah.
Setelah Nabi wafat
Sampai di sini hampir semua pihak sepakat tentang riwayat Ali bin Abu Thalib, perbedaan pendapat mulai tampak ketika Nabi Rasulullah saw wafat. Syi’ah berpendapat sudah ada wasiat (berdasar riwayat Ghadir Khum) bahwa Ali bin Abu Thalib harus menjadi Khalifah bila Nabi saw. wafat. Tetapi Sunni tidak sependapat, sehingga pada saat Ali bin Abu Thalib dan Fatimah masih berada dalam suasana duka orang-orang Quraisy bersepakat untuk membaiat Abu Bakar.
Menurut riwayat dari Al-Ya’qubi dalam kitab Tarikh-nya Jilid II Menyebutkan suatu peristiwa sebagai berikut. Dalam perjalan pulang ke Madinah seusai menunaikan ibadah haji ( Hijjatul-Wada’), malam hari Rasulullah saw bersama rombongan tiba di suatu tempat dekat Jifrah yang dikenal denagan nama “GHADIR KHUM.” Hari itu adalah hari ke-18 bulan Dzulhijah. Beliau keluar dari kemahnya kemudian berkhutbah di depan jamaah sambil memegang tangan Ali bin Abu Thalib. Dalam khutbahnya itu antara lain beliau berkata : “Barang siapa menanggap aku ini pemimpinnya, maka Ali bin Abu Thalib adalah pemimpinnya.Ya Allah, pimpinlah orang yang mengakui kepemimpinannya dan musuhilah orang yang memusuhinya.”
Pengangkatan Abu Bakar sebagai Khalifah tentu tidak disetujui keluarga Nabi Ahlul Bait dan pengikutnya. Beberapa riwayat berbeda pendapat waktu pem-bai’at-an Ali bin Abu Thalib terhadap Abu Bakar sebagai Khalifah pengganti Rasulullah. Ada yang meriwayatkan setelah Nabi saw. dimakamkan, ada yang beberapa hari setelah itu, riwayat yang terbanyak adalah Ali bin Abu Thalib mem-bai’at Abu Bakar setelah Fatimah meninggal, yaitu enam bulan setelah meninggalnya Rasulullah demi mencegah perpecahan dalam umat islam.
Ada yang menyatakan bahwa Ali bin Abu Thalib belum pantas untuk menyandang jabatan Khalifah karena umurnya yang masih muda, ada pula yang menyatakan bahwa kekhalifahan sebaiknya tidak berada di tangan Bani Hasyim.
Sebagai Khalifah
Peristiwa pembunuhan terhadap Khalifah Utsman bin Affan mengakibatkan kegentingan di seluruh dunia Islam yang waktu itu sudah membentang sampai ke Persia dan Afrika Utara. Pemberontak yang waktu itu menguasai Madinah tidak mempunyai pilihan lain selain Ali bin Abu Thalib sebagai khalifah, waktu itu Ali bin Abu Thalib berusaha menolak, tetapi Zubair bin Awwam dan Talhah bin Ubaidillah memaksa beliau, sehingga akhirnya Ali bin Abu Thalib menerima bai’at mereka. Menjadikan Ali bin Abu Thalib satu-satunya Khalifah yang dibai’at secara massal, karena khalifah sebelumnya dipilih melalui cara yang berbeda-beda.
Sebagai Khalifah ke-4 yang memerintah selama sekitar 5 tahun. Masa pemerintahannya mewarisi kekacauan yang terjadi saat masa pemerintah Khalifah sebelumnya, Utsman bin Affan. Untuk pertama kalinya perang saudara antara umat Muslim terjadi, Perang Jamal. 20.000 pasukan pimpinan Ali bin Abu Thalib melawan 30.000 pasukan pimpinan Zubair bin Awwam, Talhah bin Ubaidillah, dan Ummul mu’minin Aisyah binti Abu Bakar. Perang tersebut dimenangkan oleh pihak Ali bin Abu Thalib.
Peristiwa pembunuhan Khalifah Utsman bin Affan yang menurut berbagai kalangan waktu itu kurang dapat diselesaikan karena fitnah yang sudah terlanjur meluas dan sudah diisyaratkan (akan terjadi) oleh Nabi Rasulullah saw ketika beliau masih hidup, dan diperparah oleh hasutan-hasutan para pembangkang yang ada sejak zaman Utsman bin Affan, menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslim sehingga menyebabkan perang tersebut. Tidak hanya selesai di situ, konflik berkepanjangan terjadi hingga akhir pemerintahannya. Perang Shiffin yang melemahkan kekhalifannya juga berawal dari masalah tersebut.
Ali bin Abu Thalib, seseorang yang memiliki kecakapan dalam bidang militer dan strategi perang, mengalami kesulitan dalam administrasi negara karena kekacauan luar biasa yang ditinggalkan pemerintahan sebelumya. Ia meninggal di usia 63 tahun karena pembunuhan oleh Abdrrahman bin Muljam, seseorang yang berasal dari golongan Khawarij (pembangkang) saat mengimami salat subuh di masjid Kufah, pada tanggal 19 Ramadhan, dan Ali bin Abu Thalib menghembuskan napas terakhirnya pada tanggal 21 Ramadhan tahun 40 Hijriyah. Ali bin Abu Thalib dikuburkan secara rahasia di Najaf, bahkan ada beberapa riwayat yang menyatakan bahwa ia dikubur di tempat lain.
Keturunan
Ali bin Abu Thalib memiliki delapan istri setelah meninggalnya Fatimah az-Zahra dan memiliki keseluruhan 36 orang anak. Dua anak laki-lakinya yang terkenal, lahir dari anak Nabi Rasulullah saw, Fatimah, adalah Hasan dan Husain.
Keturunan Ali bin Abu Thalib melalui Fatimah dikenal dengan Syarif atau Sayyid, yang merupakan gelar kehormatan dalam Bahasa Arab, Syarif berarti bangsawan dan Sayyed berarti tuan. Sebagai keturunan langsung dari Rasulullah saw, mereka dihormati oleh Sunni dan Syi’ah.
Menurut riwayat, Ali bin Abu Thalib memiliki 36 orang anak yang terdiri dari 18 anak laki-laki dan 18 anak perempuan. Sampai saat ini keturunan itu masih tersebar, dan dikenal dengan Alawiyin atau Alawiyah. Sampai saat ini keturunan Ali bin Abu Thalib kerap digelari Sayyid.

sumber : http://www.abdulkarimkhiaratullah.com/umar-bin-khaththab

Artikel Terkait Lainnya :



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India