Rabu, 26 September 2012

Abdullah Bin Zubeir ra



Abdullah bin Zubeir

Abdullah bin Zubeir
Ketika menempuh padang pasir yang panas bagai menyala dalam perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah yang terkenal itu, ia masih merupakan janin dalam rahim ibunya. Demikianlah telah menjadi taqdir bagi Abdullah bin Zubeir melakukan hijrah bersama Kaum Muhajirin selagi belum muncul ke alam dunia, masih tersimpan dalam perut ibunya. Ibunya Asma, setibanya di Quba, suatu dusun di luar kota Madinah, datanglah saat melahirkan, dan jabang bayi yang muhajir itu pun masuklah ke bumi Madinah bersamaan waktunya dengan masuknya muhajirin lainnya dari shahabat-shahabat Rasulullah saw..
Bayi yang pertama kali lahir pada saat hijrah itu, dibawa  kepada Rasulullah saw. di rumahnya di Madinah, maka diciumnya kedua pipinya dan dikecupnya mulutnya, hingga yang mula pertama masuk ke rongga perut Abdullah bin Zubeir itu ialah air liur Rasulullah saw. yang penuh berkah. Kaum Muslimin berkumpul dan beramai-ramai membawa bayi yang dalam gendongan itu berkeliling kota sambil membaca tahlil dan takbir.
Latar belakangnya ialah karena tatkala Rasulullah saw.  dan para shahabatnya tinggal menetap di Madinah, orang- orang Yahudi merasa terpukul dan iri hati, lalu melakukan perang urat saraf terhadap Kaum Muslimin. Mereka sebarkan berita bahwa dukun-dukun mereka telah menyihir Kaum Muslimin dan membuat mereka jadi mandul, hingga di Madinah tak seorang pun akan mempunyai bayi dari kalangan mereka. Maka tatkala Abdullah bin Zubeir muncul dari alam gaib, hal itu merupakan suatu kenyataan yang digunakan taqdir untuk menolak kebohongan orang-orang Yahudi di Madinah dan mematahkan tipu muslihat mereka.
Di masa hayat Rasulullah saw., Abdullah belum mencapai usia dewasa. Tetapi lingkungan hidup dan hubungannya yang akrab dengan Rasulullah saw., telah membentuk kerangka kepahlawanan dan prinsip hidupnya, sehingga darma baktinya dalam menempuh kehidupan di dunia ini menjadi buah bibir orang dan tercatat dalam sejarah dunia. Anak kecil itu tumbuh dengan amat cepatnya dan menunjukkan hal-hal yang luar biasa dalam kegairahan, kecerdasan dan keteguhan pendirian. Masa mudanya dilaluinya sebagai seorang tekun beribadah, hidup sederhana dan perwira tidak terkira.
Demikianlah hari-hari dan peruntungan itu dijalaninya dengan tabi’atnya yang tidak berubah dan semangat yang tak pernah kendor. Ia benar-benar seorang laki-laki yang mengenal tujuannya dan menempuhnya dengan kemauan yang keras membaja dan keimanan teguh luar biasa. Sewaktu pembebasan Afrika, Andalusia dan Konstantinopel, ia yang waktu itu belum melebihi usia tujuh belas tahun, tampak sebagai salah seorang pahlawan yang namanya terlukis sepanjang masa.
Dalam pertempuran di Afrika sendiri, Kaum Muslimin yang jumlahnya hanya duapuluh ribu orang tentara, pernah menghadapi musuh yang berkekuatan sebanyak seratus duapuluh ribu orang. Pertempuran berkecamuk, dan pihak Islam terancam bahaya besar. Abdullah bin Zubeir melayangkan pandangannya meninjau kekuatan musuh hingga segeralah diketahuinya di mana letak kekuatan mereka. Sumber kekuatan itu tidak lain dari raja Barbar yang menjadi panglima tentaranya sendiri. Tak putus-putusnya raja itu berseru terhadap tentaranya dan membangkitkan semangat mereka dengan cara istimewa yang mendorong mereka untuk menerjuni maut tanpa rasa takut.
Abdullah bin Zubeir maklum bahwa pasukan yang gagah perkasa ini tak mungkin ditaklukkan kecuali dengan jatunya panglima yang menakutkan ini. Tetapi betapa caranya untuk menemuinya, padahal untuk sampai kepadanya terhalang oleh tembok kukuh dari tentara musuh yang bertempur laksana angin puyuh.
Tetapi semangat dan keberanian Abdullah bin Zubeir tak perlu diragukan lagi. Dipanggilnya sebagian kawan-kawannya, lalu katanya, “Lindungi punggungku dan mari menyerbu bersamaku.” Dan tak ubah bagai anak panah lepas dari busurnya, dibelahnya barisan yang berlapis itu menuju raja musuh, dan demi sampai di hadapannya, dipukulnya sekali pukul, hingga raja itu jatuh tersungkur. Kemudian secepatnya bersama kawan-kawannya, ia mengepung tentara yang berada di sekeiiling raja dan menghancurkan mereka, lalu dikuman dangkannya Allahu Akbar.
Demi Kaum Muslimin melihat bendera mereka berkibar di sana, yakni di tempat panglima Barbar berdiri menyampaikan perintah dan mengatur siasat, tahulah mereka bahwa kemenangan telah tercapai. Maka seolah-olah satu orang jua, mereka menyerbu ke muka, dan segala sesuatu-pun berakhir dengan keuntungan di pihak Muslimin. Abdullah bin Abu Sarah, panglima tentara Islam, mengetahui peranan penting yang telah diiakukan oleh Abdullah bin Zubeir. Maka sebagai imbalannya disuruhnya ia menyampaikan sendiri berita kemenangan itu ke Madinah terutama kepada khalifah Utsman bin Affan.
Hanya kepahlawanannya dalam medan perang bagaimana juga unggul dan luar biasanya, tetapi itu tersembunyi di balik ketekunannya dalam beribadah. Maka orang yang mempunyai tidak hanya satu dua alasan untuk berbangga dan menyombongkan dirinya ini akan menakjubkan kita karena selalu ditemukan dalam lingkungan orang-orang shaleh dan rajin beribadat.
Maka derajat maupun kemudaannya, kedudukan atau harta bendanya, keberanian atau kekuatannya, semua itu tidak mampu untuk menghalangi Abdullah bin Zubeir untuk menjadi seorang laki-laki ‘abid yang berpuasa di siang hari, bangun malam beribadat kepada Allah dengan hati yang khusu’ niat yang suci.
Pada suatu hari Umar bin Abdul Aziz mengatakan kepada Ibnu Abu Mulaikah: “Cobalah ceritakan kepada kami kepribadian Abdullah bin Zubeir!” Maka ujarnya:  “Demi Allah! Tak pernah kulihat Jiwa yang tersusun dalam rongga tubuhnya itu seperti jiwanya. Ia tekun melakukan shalat, dan mengakhiri segala sesuatu dengannya. Ia ruku’ dan sujud sedemikian rupa, hingga karena amat lamanya, maka burung-burung gereja yang bertengger di atas bahunya atau punggungnya, menyangkanya dinding tembok atau kain yang tergantung. Dan pernah peluru meriam batu lewat antara janggut dan dadanya sementara ia shalat, tetapi demi Allah, ia tidak peduli dan tidak goncang, tidak pula memutus bacaan atau mempercepat waktu ruku’ nya.”
Memang, berita-berita sebenamya yang diceritakan orang tentang ibadat Abdullah bin Zubeir, hampir merupakan dongeng. Maka di dalam shaum dan shalat, dalam menunaikan haji dan serta zakat, ketinggian cita serta kemuliaan diri dalam bertenggang di waktu malam – sepanjang hayatnya – untuk bersujud dan beribadat, dalam menahan lapar di waktu siang, – juga sepanjang usianya – untuk shaum dan jihadun nafs, dan dalam keimanannya yang teguh kepada Allah  dalam semua itu ia adalah tokoh satu-satunya tak ada duanya.
Pada suatu kali Ibnu Abbas  ditanyai orang mengenai Abdullah bin Zubeir. Maka walaupun di antara kedua orang ini terdapat perselisihan paham, Ibnu Abbas berkata,  “Ia adalah seorang pembaca Kitabullah, dan pengikut sunnah Rasul-Nya saw., tekun beribadat kepada-Nya dan shaum di siang hari karena takut kepada-Nya. Seorang putera dari pembela Rasulullah saw., dan ibunya ialah Asma puteri Shiddiq, sementara mak-tuanya ialah Khadijah istri dari Rasululiah saw.
Kemudian pembangkangannya terhadap Mu’awiyah dan puteranya Yazid sungguh-sungguh merupakan kepahlawanan! Menurut pandangannya, Yazid bin Mu’awiyah bin Abi Sufyan itu adalah laki-laki yang terakhir kali dapat menjadi khalifah Muslimin, seandainya memang dapat. Pandangannya ini memang beralasan, karena dalam soal apa pun juga, Yazid tidak becus! Tidak satu pun kebaikan dapat menghapus dosa-dosanya yang diceritakan sejarah kepada kita, maka betapa Abdullah bin Zubeir akan mau bai’at kepadanya?
Kata-kata penolakannya terhadap Mu’awiyah selagi ia masih hidup amat keras dan tegas. Dan apa pula katanya kepada Yazid yang telah naik menjadi khalifah dan mengirim utusannya kepada Abdullah bin Zubeir mengancamnya dengan nasib jelek apabila ia tidak membai’at pada Yazid? Ketika itu Abdullah bin Zubeir memberikan jawabannya,  “Kapan pun, aku tidak akan bai’at kepada si pemabok.” Kemudian katanya membaca syair,  “Terhadap hal bathil tiada tempat berlunak lembut kecuali bila geraham dapat mengunyah batu menjadi lembut “.
Abdullah bin Zubeir tetap menjadi Amirul Mu’minin dengan mengambil Mekah al-Mukarramah sebagai ibu kota pemerintahan dan membentangkan kekuasaannya terhadap Hijaz, Yaman, Bashrah, Kufah, Khurasan dan seluruh Syria kecuali Damsyik, setelah ia mendapat bai’at dari seluruh warga kota-kota daerah tersebut di atas.
Tetapi orang-orang Banu Umaiyah tidak senang diam dan berhati puas sebelum menjatuhkannya, maka mereka melancarkan serangan yang bertubi-tubi, yang sebagian besar di antaranya berakhir dengan kekalahan dan kegagalan. Hingga akhirnya datanglah masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan yang untuk menyerang Abdullah bin Zubeir di Mekah itu memilih salah seorang anak manusia yang paling celaka dan paling merajalela dengan kekejaman dan kebuasannya. Itulah dia Hajjaj ats-Tsaqafi, yang mengenai pribadinya, Umar bin Abdul Aziz, Imam yang adil itu pernah berkata:  “Andainya setiap ummat datang dengan membawa kesalahan masing-masing, sedang kami hanya datang dengan kesalahan Hajjaj seorang saja, maka akan lebih berat lagi kesalahan kami dari mereka semua.”
Dengan mengerahkan anak buah dan orang-orang upahannya, Hajjaj datang memerangi Mekah ibukota Abdullah bin Zubeir. Dikepungnya kota itu serta penduduknya, selama lebih kurang enam bulan dan dihalanginya mereka mendapat makanan dan air, dengan harapan agar mereka meninggalkan Abdullah bin Zubeir sebatang kara, tanpa tentara dan sanak saudara. Dan karena tekanan bahaya kelaparan itu banyaklah yang menyerahkan diri, hingga Abdullah bin Zubeir mendapatkan dirinya tidak berteman atau kira-kira demikian.
Dan walaupun kesempatan untuk meloloskan diri dan menyelamatkan nyawanya masih terbuka, tetapi Abdullah bin Zubeir memutuskan akan memikul tanggung jawabnya sampai titik terakhir. Maka ia terus menghadapi serangan tentara Hajjaj itu dengan keberanian yang tak dapat dilukiskan, padahal ketika itu usianya telah mencapai tujuh puluh tahun. Dan tidaklah dapat kita melihat gambaran sesungguhnya dari pendirian yang luar biasa ini, kecuali jika kita mendengar percakapan yang berlangsung antara Abdullah dengan ibunya yang agung dan mulia itu, Asma’ binti Abu Bakar, yakni di saat-saat yang akhir dari kehidupannya. Ditemuinya ibunya itu dan dipaparkannya di hadapannya suasana ketika itu secara terperinci, begitupun mengenai akhir kesudahan yang sudah nyata tak dapat dielakkan lagi.
Kata ‘Asma’ kepadanya:  “Anakku, engkau tentu lebih tahu tentang dirimu. Apabila menurut keyakinanmu, engkau berada di jalan yang benar dan berseru untuk mencapai kebenaran itu, maka shabar dan tawakallah dalam melaksanakan tugas itu sampai titik darah penghabisan. Tiada kata menyerah dalam kamus perjuangan melawan kebuasan budak-budak Bani Umaiyah. Tetapi  kalau menurut pikiranmu, engkau hanya mengharapkan dunia, maka engkau adalah seburuk-buruk hamba, engkau  celakakan dirimu sendiri serta orang-orang yang tewas bersamamu!”
Ujar Abdullah bin Zubeir: “Demi Allah, wahai bunda. Tidaklah ananda mengharapkan dunia atau ingin hendak mendapatkannya. Dan sekali-kali tidaklah anakanda berlaku aniaya dalam hukum Allah, berbuat curang atau melanggar batas.”
Kata Asma’ pula, “Aku memohon kepada Allah semoga ketabahan hatiku menjadi kebaikan bagi dirimu, baik engkau mendahuluiku menghadap Allah maupun aku. Ya Allah, semoga ibadahnya sepanjang malam, shaum sepanjang siang dan bakti kepada kedua orang tuanya, Engkau terima disertai cucuran Rahmat-Mu. Ya Allah, aku serahkan segala sesuatu tentang dirinya kepada kekuasaan-Mu, dan aku rela menerima keputusan-Mu. Ya Allah berilah aku pahala atas segala perbuatan Abdullah bin Zubeir ini, pahalanya orang-orang yang shabar dan bersyukur.”
Kemudian mereka pun berpelukan menyatakan perpisahan dan selamat tinggal. Dan beberapa saat kemudian, Abdullah bin Zubeir terlibat dalam pertempuran sengit yang tak seimbang, hingga syahid agung itu akhirnya menerima pukulan maut yang menewaskannya. Peristiwa itu menjadikan Hajjaj utusan Abdul Malik bin Marwan berkesempatan melaksanakan kebuasan dan dendam kesumatnya, hingga tak ada jenis kebiadaban yang lebih keji kecuali dengan menyalib tubuh syahid suci yang telah beku dan kaku itu.
Bundanya, wanita tua yang ketika itu telah berusia sembilan puluh tujuh tahun, berdiri memperhatikan puteranya yang disalib. Dan bagaikan sebuah gunung yang tinggi, ia tegak menghadap ke arahnya tanpa bergerak. Sementara itu Hajjaj datang menghampirinya, katanya:  “Wahai ibu, Amirui Mu’minin Abdulmalik bin Marwan memberiku wasiat agar memperlakukan ibu dengan balk.” “Maka adakah kiranya keperluan ibu?  Bagaikan  berteriak dengan suara berwibawa wanita itu berkata: “Aku ini bukanlah ibumu. Aku adalah ibu dari orang yang disalib pada tiang karapan. Tiada sesuatu pun yang kuperlukan daripadamu. Hanya aku akan menyampaikan kepadamu sebuah Hadits yang kudengar dari Rasulullah saw. sabdanya:
“Akan muncul dari Tsaqif seorang pembohong dan seorang durjanaAdapun si pembohong telah sama-sama kita hetahui. Adapun si durjana, sepengetahuanku hanyalah kamu.”
Abdullah bin Umar datang menghiburnya dan mengajak- nya bershabar. Maka jawabnya, “Kenapa pula aku tidak akan shahar, padahal kepala Yahya bin Zakaria sendiri telah diserahkan kepada salah seorang durjana dari durjana-durjana Bani Isra’il !”.
Tidak salah! Seandainya kepala Abdullah bin Zubeir telah diberikan sebagai hadiah bagi Hajjaj dan Abdul Malik, maka kepala Nabi yang mulia yakni Yahya ‘alaihissalam dulu juga telah diberikan sebagai hadiah bagi Salome, seorang wanita yang durjana dan hina dari Bani Israil. Sungguh, suatu tamsil yang tepat dan kata-kata yang jitu.
Kemudian mungkinkah kiranya bagi Abdullah bin Zubeir akan melanjutkan hidupnya di bawah tingkat yang amat tinggi dari keluhuran, keutamaan dan kepahlawanan ini, sedang yang menyusukannya ialah wanita yang demikian corak bentuk-nya
Salam kiranya terlimpah atas Abdullah. Dan kiranya terlimpah pula atas Asma’.
Salam bagi kedua mereka di lingkungan syuhada yang tidak pernah fana.
Dan di lingkungan orang-orang utama lagi bertaqwa.


sumber : http://www.abdulkarimkhiaratullah.com/umar-bin-khaththab

Artikel Terkait Lainnya :



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India