Rabu, 26 September 2012

Abdullah bin Abbas ra.


Biografi Abdullah bin Abbas ra.

Abdullah bin Abbas
Abdullah bin Abbas
Abdullah bin Abbas serupa dengan Ibnu Zubeir bahwa mereka sama-sama menemui Rasulullah dan bergaul dengannya selagi masih becil, dan Rasulullah wafat sebelum Abdullah bin Abbas mencapai usia dewasa. Tetapi dia seorang lain yang di waktu kecil telah mendapat kerangka kepahlawanan dan prinsip-prinsip kehidupan dari Rasululah saw. yang mengutamakan dan mendidiknya serta mengajarinya hikmat yang murni. Dan dengan keteguhan iman dan kekuatan akhlaq serta melimpahnya ilmunya, Abdullah bin Abbas mencapai kedudukan tinggi di lingkungan tokoh-tokoh sekeliling Rasul.
Ia adalah putera Abbas bin Abdul Mutthalib bin Hasyim, paman Rasulullah saw. Dia dgelari “habr hadzihil ummah” atau “Syeikh ummat ini”, suatu gelar yang sangat mulia. Hal itu karena doa Rasulullah saw. untuknya. Pada suatu hari Rasulullah menariknya ke dekatnya selagi dia masih kecil itu dan menepuk-nepuk bahunya serta mendu’akannya:
Ya Allah, berilah dia ilmu Agama yang mendalam dan ajarkanlah kepadanya ta’wil.”
Tidak saja dia menumpahkan perhatian terhadap mengumpulkan ilmu pengetahuan semata, tapi jnga untuk meneliti dan menyelidiki sumber-sumbernya.
Pernah dia menceritakan pengalamannya: “Pernah aku bertanya kepada tiga puluh orang shahabat Rasulullah saw. mengenai satu masalah”. Dan bagaimana keinginannya yang amat besar untuk mendapatkan ilmu, digambarkannya sebagai berikut: “Tatkala Rasulullah saw. wafat, kukatakan kepada salah seorang pemuda Anshar, “Marilah kita bertanya kepada shahabat Rasulullah saw., sekarang ini mereka hampir semuanya sedang bekumpul?”
Jawab pemuda Anshar itu, “Aneh sekali kamu ini, hai Abdullah bin Abbas! Apakah kamu kira orang-orang akan membutuhkanmu, padahal di kalangan mereka banyak terdapat shahabat Rasulullah saw.?” Demikianlah dia tak mau diajak, tetapi aku tetap pergi bertanya kepada shahabat-shahabat Rasulullah saw.
Pernah aku mendapatkan satu Hadits dari seseorang dengan cara kudatangi rumahnya, kebetulan dia sedang tidur. Kubentangkan kainku di depan pintunya, lalu duduk menunggu, sementara angin menerbangkan debu kepadaku, sampai akhirnya dia bangun dan keluar mendapatiku. Maka katanya, “Hai saudara sepupu Rasulullah, apa maksud kedatanganmu? Kenapa tidak kamu suruh saja orang kepadaku agar aku datang kepadamu?” Aku jawab, “Tidak. Bahkan akulah yang harus datang mengunjungi anda.” Kemudian kutanyakanlah kepadanya sebuah Hadits dan aku belajar darinya.
Pada suatu hari ditanyakan orang kepada Abdullah bin Abbas:
“Bagaimana anda mendapatkan ilmu ini?” Jawabnya, “Dengan lidah yang gemar bertanya, dan akal yang suka berfikir.” Maka dengan lidahnya yang selalu bertanya dan fikirannya yang tak jemu-jemunya meneliti, serta dengan kerendahan hati dan pandainya bergaul, jadilah Abdullah bin Abbas sebagai “Syeikh ummat ini”.
Sa’ad bin Abi Waqqash melukiskannya dengan kalimat-kalimat seperti ini, “Tak seorang pun yang kutemui lebih cepat mengerti, lebih tajam berfikir dan lebih banyak dapat menyerap ilmu dan lebih luas sifat santunnya dari Abdullah bin Abbas. Dan sungguh, kulihat Umar memanggilnya dalam urusan-urusan pelik, padahal sekelilingnya terdapat peserta perang Badar dari kalangan Muhajirin dan Anshar. Maka tampillah Abdullah bin Abbas menyampaikan pendapatnya, dan Umar pun tak hendak melampaui apa katanya.”
Ketika membicarakannya, Ubaidillah bin Utbah berkata, “Tidak seorang pun yang lebih tahu tentang Hadits yang diterimanya dari Rasulullah saw. daripada Abdullah bin Abbas. Dan tak kulihat orang yang lebih mengetahui tentang putusan Abu Bakar, Umar dan Utsman dalam pengadilan daripadanya. Begitu pula tak ada yang lebih mendalam pengertiannya daripadanya. Sungguh, dia telah menyediakan waktu untuk mengajarkan fiqih satu hari, tafsir satu hari, riwayat dan strategi perang satu hari, syair satu hari, dan tarikh serta kebudayaan bangsa Arab satu hari. Serta tak ada yang lebih tahu tentang syair, bahasa Arab, tafsir al-Quran, ilmu hisab dan soal pembagian warisan darinya. Dan tidak seorang alim pun yang pergi duduk ke dekatnya kecuali hormat kepadanya, serta tidak seorang pun yang bertanya, kecuali mendapatkan jawaban daripadanya.”
Seorang Muslim penduduk Bashrah melukiskannya pula sebagai berikut, (Abdullah bin Abbas pernah menjadi gubernur di sana, diangkat oleh Ali), “Ia mengambil tiga perkara dan meninggalkan tiga perkara. Tiga perkara yang dia ambil: Menarik hati pendengar apabila dia berbicara. Memperhatikan setiap ucapan pembicara. Memilih yang teringan apabila memutuskan perkara. Dan tiga perkara yang ditinggalkannya: Menjauhi sifat mengambil muka. Menjauhi orang-orang yang rendah budi. Menjauhi setiap perbuatan dosa.”
Dia pun menjadi teladan bagi orang-orang yang mencari ilmu, berbondong-bondong orang datang dari berbagai penjuru negeri Islam untuk mengikuti pendidikan dan mendalami ilmu pengetahuan. Di samping ingatannya yang kuat bahkan luar biasa itu, Abdullah bin Abbas memiliki pula kecerdasan dan kepintaran yang Istimewa.
Dan memang, telah lama dia ditakuti oleh Kaum Khawarij karena logikanya yang tepat dan tajam. Pada suatu hari dia diutus oleh Imam Ali kepada sekelompok besar dari mereka. Maka terjadilah di antaranya dengan mereka percakapan yang amat mempesona, di mana Abdullah bin Abbas mengarahkan pembicaraan serta menyodorkan alasan dengan cara yang menakjubkan. Dari percakapan yang panjang itu, kita cukup mengutip cupIikan di bawah ini:
Abdullah bin Abbas berkata, “Hal-hal apakah yang menyebabkan kalian menaruh dendam terhadap Ali?” Mereka menjawab, “Ada tiga hal yang menyebabkan kebencian kami padanya: Pertama, dalam Agama Allah dia bertahkim kepada manusia, padahal Allah berfirman: “Tak ada hukum kecuali bagi Allah”. Kedua, dia berperang, tetapi tidak menawan pihak musuh dan tidak pula mengambil barta rampasan. Seandainya pihak lawan itu orang-orang kafir, berarti harta mereka itu halal. Sebaliknya bila mereka orang-orang beriman maka haramlah darahnya. Dan ketiga, waktu bertahkim, dia rela menanggalkan sifat Amirul Mu’minin dari dirinya demi mengabulkan tuntutan lawannya. Maka jika dia sudah tidak jadi amir atau kepala bagi orang-orang Mu’min lagi, berarti dia menjadi kepala bagi orang-orang kafir.”
Semua alasan mereka itu dipatahkan oleh Abdullah bin Abbas, katanya, “Mengenai perkataan kalian bahwa dia bertahkim kepada manusia dalam Agama Allah, maka apa salahnya? Bukankah Allah telah berfirman: “Hai orang-orang beriman! Janganlah kalian membunuh binatang buruan sewaktu halian dalam ihram. Barang siapa di antara kalian yang membunuhnya dengan sengaja, maka hendaklah dia membayar denda berupa binatang ternak yang sebanding dengan hewan yang dibunuhnya itu, yang untuk menetapkannya diputuskan oleh dua orang yang adil di antara kalian sebagai hakimnya.” (Q.S. 5 al-Maidah: 95) Nah, atas nama Allah cobalah jawab: “Manakah yang lebih penting, bertahkim kepada manusia demi menjaga darah kaum Muslimin, ataukah bertahkim kepada mereka mengenai seekor kelinci yang harganya seperempat dirham?”
Para pemimpin Khawarij itu tertegun menghadapi logika tajam itu. Kemudian Abdullah bin Abbas melanjutkan bantahannya, “Tentang ucapan kalian bahwa dia perang tetapi tidak melakukan penawanan dan merebut harta rampasan, apakah kalian menghendaki agar dia mengambil Aisyah istri Rasulullah saw. , putri Abu Bakar dan Ummul Mu’minin itu sebagai tawanan, dan pakaian berkabungnya sebagai barang rampasan?”
Di sini wajah orang-orang itu jadi merah padam karena malu, lain menutupi muka mereka dengan tangan,sementara Abdullah bin Abbas beralih kepada soal yang ketiga, katanya, “Adapun ucapan kalian bahwa dia rela menanggalkan sifat Amirul Mu’minin dari dirinya sampai selesainya tahkim, maka dengarlah oleh kalian apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw.di hari Hudaibiyah, yakni ketika dia mengimlakkan surat perjanjian yang telah tercapai antaranya dengan orang-orang Quraisy. Katanya kepada penulis: “Tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad Rasulullah“. Tiba-tiba utusan Qnraisy menyela: ‘Demi Allah, seandainya kami mengakuimu sebagai Rasulullah, tentulah kami tidak menghalangimu ke Baitullah dan tidak pula akan memerangimu! Maka tulislah: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah!”
Kata Rasulullah kepada mereka, “Demi Allah, sesungguhnya saya ini Rasulullah walaupun kamu tak hendak mengakuinya.” Lalu kepada penulis surat perjanjian itu beliau memerintahkan, “Tulislah apa yang mereka kehendaki! Tulis: Inilah yang telah disetujui oleh Muhammad bin Abdullah!”
Abdullah bin Abbas tidak saja memiliki kekayaan besar berupa ilmu pengetahuan semata, tapi di samping itu dia memiliki pula kekayaan yang lebih besar lagi, yakni etika ilmu serta akhlak para ulama. Dalam kedermawanan dan sifat pemurahnya, dia bagaikan Imam dengan panji-panjinya.
Orang-orang yang sesama dengannya pernah menceritakan sebagai berikut, “Tidak sebuah rumah pun kita temui yang lebih banyak makanan, minuman buah-buahan, begitupun ilmu pengetahuannya dari rumah Abdullah bin Abbas.”
Abdullah bin Abbas berkata mengenai dirinya, “Setiap aku mengetahui suatu ayat dari kitabullah, aku berharap kiranya semua manusia mengetahui seperti apa yang kuketahui itu! Dan setiap aku mendengar seorang hakim di antara hakim-hakim Islam melaksanakan keadilan dan memutus sesuatu perkara dengan adil, maka aku merasa gembira dan turut mendo’akannya, padahal tak ada hubungan perkara antaraku dengannya. Dan setiap aku mendengar turunnya hujan yang menimpa bumi Muslimin, aku merasa berbahagia, padahal tidak seekor pun binatang ternakku yang digembalakan di bumi tersebut.”
Ia seorang ahli ibadah yang tekun beribadat dan rajin bertaubat, sering bangun di tengah malam dan shaum di waktu siang, dan seolah-olah kedua matanya telah hafal akan jalan yang dilalui oleh air matanya di kedua pipinya, karena seringnya dia menangis, baik di kala dia shalat maupun sewaktu membaca alquran. Dan ketika dia membaca ayat-ayat al-Quran yang memuat berita duka atau ancaman, apalagi mengenai maut dan saat dibangkitkan, maka isaknya bertambah keras dan sedu sedannya menjadi-jadi!
Tatkala Husein bermaksud hendak pergi ke Irak untuk memerangi Ziad dan Yazid, Abdullah bin Abbas menasehati Husein, memegang tangannya dan berusaha sekuat daya untuk menghalanginya. Dan tatkala dia mendengar kematiannya, dia amat terpukul, dan tidak keluar-keluar rumah karena amat dukanya.
Dan di setiap pertentangan yang timbul antara Muslim dengan Muslim tak ada yang dilakukan oleh Abdullah bin Abbas, selain mengacungkan bendera perdamaian dan melenyapkan kesalah-pahaman.
Benar dia ikut tejun dalam peperangan di pihak Imam Ali terhadap Mu’awiyah, tetapi hal itu dilakukannya tiada lain hanyalah sebagai tamparan keras yang wajib dilakukan terhadap penggerak perpecahan yang mengancam keutuhan Agama dan kesatuan ummat.
Demikianlah kehidupan Abdullah bin Abbas, dipenuhi dunianya dengan ilmu dan hikmat, dan disebarkan di antara ummat buah nasehat dan ketaqwaannya.Dan pada usianya yang ketujuhpuluh satu tahun, dia terpanggil untuk menemui Tuhannya Yang Maha Agung. Maka kota Thaif pun menyaksikan perarakan besar, di mana seorang Mu’min diiringkan menuju surganya.

sumber : http://www.abdulkarimkhiaratullah.com/umar-bin-khaththab

Artikel Terkait Lainnya :



0 komentar:

Posting Komentar

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | Justin Bieber, Gold Price in India