Keutamaan Hari ‘Asyura Dan Bulan Allah Muharram
(Insya Allah tahun 2012 jatuh hari sabtu tanggal 24 November.)
بسم الله الرحمن الرحيم, الحمد لله رب العالمين، والصلاة
والسلام على نبينا محمد خاتم الأنبياء وسيد المرسلين وعلى آله وصحبه أجمعين
وبعد:
Sesungguhnya bulan Allah bulan Al Muharram adalah bulan yang agung
dan penuh berkah, ia adalah bulan yang pertama dalam setahun dan salah
satu dari bulan-bulan suci, yang mana Allah berfirman tentangnya:
إِنَّ عِدَّةَ الشُّهُورِ عِنْدَ اللَّهِ اثْنَا عَشَرَ
شَهْرًا فِي كِتَابِ اللَّهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضَ
مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ذَلِكَ الدِّينُ الْقَيِّمُ فَلَا تَظْلِمُوا
فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً كَمَا
يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ مَعَ الْمُتَّقِينَ
[التوبة : 36]
Artinya: “Sesungguhnya bilangan bulan pada sisi Allah adalah dua
belas bulan, dalam ketetapan Allah di waktu dia menciptakan langit dan
bumi, di antaranya empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang
lurus, Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu dalam bulan yang empat
itu…”. QS. at Taubah: 36
Diriwayatkan dari Abu Bakrah radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
السَّنَةُ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا مِنْهَا أَرْبَعَةٌ حُرُمٌ
ثَلَاثَةٌ مُتَوَالِيَاتٌ ذُو الْقَعْدَةِ وَذُو الْحِجَّةِ وَالْمُحَرَّمُ
وَرَجَبُ مُضَرَ الَّذِي بَيْنَ جُمَادَى وَشَعْبَانَ
Artinya: “Satu tahun ada 12 bulan darinya ada 4 bulan suci:
3 bulan secara berurutan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram dan bulan
Rajab Mudhar antara bulan Jumada dan bulan Sya’ban”. Hadits riwayat
Bukhari, no.2958.
dan bulan Muharram dinamakan demikian karena keberadaannya sebagai bulan suci dan sebagai penegasan akan kesuciannya.
Dan firman Allah Ta’ala:
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Artinya: “…Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu…”
Maksudnya adalah jangan berbuat zhalim di bulan-bulan yang suci ini
karena berbuat zhalim di dalamnya lebih ditekankan dan lebih ditegaskan
dosanya dari bulan-bulan lainnya.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas radhiyallahu’anhu tentang tafsir firman Allah Ta’ala:
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ
Artinya: “…Maka janganlah kamu menzhalimi diri kamu…”:
في كلهن ثم اختص من ذلك أربعة أشهر فجعلهن حراماً وعظّم
حرماتهن، وجعل الذنب فيهن أعظم والعمل الصالح والأجر أعظم. وقال قتادة في
قوله: {فَلا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ} :
“Maksudnya adalah jangan berbuat zhalim dalam seluruh
bulannya (selam setahun-pent), tetapi dikhususkan 4 bulan dari itu, dan
Allah telah menjadikannya (4 bulan tadi) suci, mengagungkan
kehormatan-kehormatannya, menjadikan perbuatan dosa di dalamnya berlipat
dan amal shalih serta pahalanya di dalamnya (juga) lebih besar
(pahalanya dibanding dengan bulan-bulan lainnya-pent).
Qatadah rahimahullah berkata ketika menafsirkan ayat;
فَلَا تَظْلِمُوا فِيهِنَّ أَنْفُسَكُمْ,: “إن الظّلم في
الأشهر الحرم أعظم خطيئة ووزراً من الظلم فيما سواها. وإن كان الظلم على كل
حال عظيماً، ولكن الله يعظّم من أمره ما يشاء، وقال: إن الله اصطفى صفايا
من خلقه: اصطفى من الملائكة رسلاً ومن الناس رسلاً، واصطفى من الكلام ذكره،
واصطفى من الأرض المساجد، واصطفى من الشهور رمضان والأشهر الحرم، واصطفى
من الأيام يوم الجمعة، واصطفى من الليالي ليلة القدر، فعظموا ما عظّم الله،
فإنما تُعَظّم الأمور بما عظمها الله به عند أهل الفهم وأهل العقل”
“Sesungguhnya berbuat zhalim di dalam bulan-bulan suci
lebih besar kesalahan dan dosanya daripada berbuat zhalim di dalam bulan
lainnya, walaupun suatu kezhaliman apapun bentuknya merupakan dosa
besar tetapi Allah Ta’ala mengagungkan suatu perkara sesuai dengan
kehendaknya”.
beliau juga berkata: “Sesungguhnya Allah memilih yang suci dari
makhluqnya; seperti Ia memilih para malaikat sebagai utusan dan memilih
dari manusia sebagai rasul, memilih dari firman-Nya untuk mengingat-Nya,
memilih dari bumi dijadikan sebagai masjid-masjid, memilih dari
bulan-bulan bulan Ramadhan dan bulan-bulan yang suci, memilih dari
hari-hari hari Jum’at, memilih dari beberapa malam malam qadar, maka
agungkanlah apa yang diagungkan oleh Allah Ta’ala. Sungguh dimuliakannya
beberapa perkara karena pengagungan Allah terhadapnya, dan hal ini bagi
orang-orang yang diberi kepahaman dan akal”. (diringkas dari tafsir
Ibnu katsir, tafsir surat at Taubah ayat 36).
Keutamaan memperbanyak puasa sunnah pada waktu bulan Muharram
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
أَفْضَلُ الصِّيَامِ بَعْدَ رَمَضَانَ شَهْرُ اللَّهِ الْمُحَرَّمُ. (رواه مسلم:1982)
Artinya: “Puasa yang paling utama setelah puasa bulan
Ramadhan adalah puasa bulan Allah yaitu bulan Muharram”. Hadits riwayat
Muslim, no. 1982.
Sabda beliau: ” شَهْرُ اللَّهِ” digandengkan bulan ini kepada Allah
Ta’ala sebagai penggandengan pengagungan. Al Qari rahimahullah berkata:
الظاهر أن المراد جميع شهر المحرّم.
“Yang terlihat jelas bahwa maksudnya adalah seluruh (hari pada) bulan Muharram”.
Tetapi telah shahih riwayat bahwasanya Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam tidak pernah berpuasa satu bulan penuh selain bulan Ramadhan,
maka hadits ini dianggap sebagai pemotivasi untuk memperbanyak puasa
pada bulan Muharram bukan untuk berpuasa satu bulan penuh.
Dan telah benar riwayat bahwasanya nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam memperbanyak puasa pada bulan Sya’ban, hal ini mungkin belum
diwahyukan kepada beliau tentang keutamaan bulan Muharram kecuali pada
akhir hayat beliau sebelum bisa mengerjakan puasa tersebut….lihat kitab
Al Minhaj; Penjelasan an Nawawi terhadap kitab Shahih Muslim.
Allah memilih sesuatu dengan kehendak-Nya baik dari zaman atau tempat
Al ‘Izz Bin Abdus Salam rahimahullah berkata:
وتفضيل الأماكن والأزمان ضربان: أحدهما: دُنيويٌّ.. والضرب
الثاني: تفضيل ديني راجعٌ إلى الله يجود على عباده فيها بتفضيل أجر
العاملين، كتفضيل صوم سائر الشهور، وكذلك يوم عاشوراء.. ففضلها راجعٌ إلى
جود الله وإحسانه إلى عباده فيها..
“Dan pengutamaan tempat dan zaman ada dua macam, yang
pertama: berdasarkan sisi duniawi… dan yang kedua: pengutamaan
berdasarkan agama, hal ini dikembalikan kepada Allah yang memberikan
kemurahan di dalamnya kepada hamba-Nya dengan mengutamakan pahala
orang-orang yang mengerjakannya, seperti pengutamaan pahala puasa
Ramadhan atas puasa seluruh bulan, dan demikian pula hari ‘Asyura-’…
maka kemuliaan di dalamnya kembali kepada kemurahan dan kebaikan Allah
Ta’ala kepada para hamba-Nya… (lihat kitab Qawa’idul Ahkam 1/37)
‘Asyura-’ ditilik dari sejarah
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَدِمَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمَدِينَةَ فَرَأَى
الْيَهُودَ تَصُومُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ فَقَالَ مَا هَذَا قَالُوا هَذَا
يَوْمٌ صَالِحٌ هَذَا يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ بَنِي إِسْرَائِيلَ مِنْ
عَدُوِّهِمْ فَصَامَهُ مُوسَى قَالَ فَأَنَا أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْكُمْ
فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ. (رواه البخاري:1865)
Artinya: “Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, beliau
berkata: “Ketika Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah sampai
di kota Madinah, beliaupun melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada
hari ‘Asyura-’, maka beliau bertanya: “Ada apa dengan hari ini?”, mereka
menjawab: “Ini adalah hari yang baik, hari dimana Allah menyelamatkan
Bani Israil dari musuh mereka maka Nabi Musapun berpuasa pada hari itu”,
Nabipun bersabda: “Kalau begitu aku lebih berhak (mengikuti) Musa
daripada kalian, beliaupun berpuasa dan memerintahkan ( kaum muslimin )
untuk berpuasa”. Hadits riwayat Imam Bukhari, no.1865.
Maksud sabda beliau: ” “هَذَا يَوْمٌ صَالِح, didalam riwayat Imam Muslim terdapat penjelasan:
هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ أَنْجَى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى
وَقَوْمَهُ وَغَرَّقَ فِرْعَوْنَ وَقَوْمَهُ فَصَامَهُ مُوسَى شُكْرًا
فَنَحْنُ نَصُومُهُ. (رواه مسلم)
Artinya: “Ini adalah hari yang agung, Allah telah
menyelamatkan pada hari ini Nabi Musa ‘alaihissalam dan kaumnya dan
menenggelamkan Fir’aun dan kaumnya, maka Nabi Musapun ‘alaihissalam
berpuasa karenanya sebagai tanda syukur maka kamipun berpuasa pada hari
ini.” HR. Muslim
Dan di riwayatkan oleh Imam Ahmad dengan tambahan lafadz:
وَهَذَا يَوْمُ اسْتَوَتْ فِيهِ السَّفِينَةُ عَلَى الْجُودِيِّ فَصَامَهُ نُوحٌ وَمُوسَى شُكْرًا.
Artinya: “Ini adalah hari dimana berlabuhnya kapal (Nabi
Nuh ‘alaihissslam) diatas bukit Judi (Bukit Judi terletak di Armenia
sebelah selatan, berbatasan dengan Mesopotamia-pent), lalu Nabi Nuh
‘alaihissalam dan Musa ‘alaihissalam berpuasa karenanya sebagai tanda
syukur.”
Hadits : “وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ” (dan beliaupun memerintahkan untuk
berpuasa karenanya), di dalam riwayat al Bukhari rahimahuallah juga
terdapat lafadz:
فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِأَصْحَابِهِ أَنْتُمْ أَحَقُّ بِمُوسَى مِنْهُمْ فَصُومُوا. (رواه البخاري)
Artinya: “Maka Nabi Muhammad berkata kepada para
shahabatnya : “Kalian lebih berhak untuk mengikuti Nabi Musa
‘alaihissalam daripada mereka”. HR. Bukhari.
Dan berpuasa pada hari ‘Asyura-’ telah dikenal dari mulai zaman
jahiliyah sebelum zaman kenabian (Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi
wasallam), telah benar riwayat dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anhu, beliau
berkata:
«إن أهل الجاهلية كانوا يصومونه»
“Sesungguhnya orang-orang jahiliyah senantiasa berpuasa pada hari itu…”,
Al Qurthuby rahimahullah berkata:
“لعل قريشاً كانوا يستندون في صومه إلى شرع من مضى كإبراهيم
عليه السّلام. وقد ثبت أيضا أنّ النبي صلى الله عليه وسلم كان يصومه بمكة
قبل أن يهاجر إلى المدينة، فلما هاجر إلى المدينة وجد اليهود يحتفلون به
فسألهم عن السبب فأجابوه كما تقدّم في الحديث، وأمر بمخالفتهم في اتّخاذه
عيدا كما جاء في حديث أبي موسى قال: «كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ
الْيَهُودُ عِيدًا» وفي رواية مسلم: «كان يوم عاشوراء تعظمه اليهود تتخذه
عيدا» وفي رواية له أيضا: «كان أهل خيبر (اليهود) يتخذونه عيدا، ويلبسون
نساءهم فيه حليهم وشارتهم». ققال النبي صلى الله عليه وسلم: «فَصُومُوهُ
أَنْتُمْ» [رواه البخاري].
وظاهر هذا أن الباعث على الأمر بصومه محبة مخالفة اليهود حتى يصام ما يفطرون فيه، لأن يوم العيد لا يصام”.
“Kemungkinan orang-orang Quraisy menyandarkan dalam
puasanya kepada ajaran orang-orang terdahulu seperti Nabi Ibrahim
‘alaihissalam. Dan telah shahih juga riwayat yang mengatakan bahwa Nabi
Muhammad shallalalhu ‘alaihi wasallam berpuasa karenanya di kota Makkah
sebelum hijrah ke Madinah, ketika beliau hijrah ke kota Madinah beliau
mendapatkan orang-orang Yahudi memperingatinya lalu beliau bertanya
kepada mereka tentang sebab dan merekapun menjawabnya sebagaimana yang
sudah disebutkan di dalam hadits diatas. Dan Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wasallam memerintahkan untuk menyelesihi mereka di dalam
peringatan mereka sebagai hari raya sebagaimana telah diriwayatkan dalam
hadits Abu Musa radhiyallahu ‘anhu, beliau bersabda:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ تَعُدُّهُ الْيَهُودُ عِيدًا فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه البخاري
Artinya: “Hari ‘Asyura-’ dulunya dianggap oleh orang yahudi sebagai hari raya maka hendaklah kalian berpuasa pada hari itu”.
Di dalam riwayat Imam Muslim rahimahullah:
كَانَ يَوْمُ عَاشُورَاءَ يَوْمًا تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَتَتَّخِذُهُ عِيدًا. رواه مسلم
Artinya: “Hari ‘Asyura-’ adalah hari yang diagungkan orang yahudi dan mereka menjadikannya hari raya”.
Di dalam riwayat yang lain milik beliau juga:
كَانَ أَهْلُ خَيْبَرَ يَصُومُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
يَتَّخِذُونَهُ عِيدًا وَيُلْبِسُونَ نِسَاءَهُمْ فِيهِ حُلِيَّهُمْ
وَشَارَتَهُمْ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَصُومُوهُ أَنْتُمْ. رواه مسلم
Artinya: “Penduduk Khaibar (dan mereka pada waktu itu
orang-orang Yahudi-pent) berpuasa pada hari ‘asyura-’ dan selalu
menjadikannya sebagai hari raya, mereka menghiasi wanita-wanita mereka
dengan emas dan perhiasan mereka, lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Maka berpuasalah kalian pada hari itu”. Hadits
riwayat Muslim
Dan yang terlihat jelas dari perintah untuk berpuasa adalah keinginan
untuk menyelisihi orang-orang Yahudi sehingga berpuasa ketika mereka
berbuka, karena hari raya tidak boleh berpuasa (di dalamnya-pent).
(diringkas dari perkataan Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab Fathul
Bari Syarah Shahih Bukhari)
Keutamaan Berpuasa Hari ‘Asyura-’
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: مَا
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَحَرَّى صِيَامَ
يَوْمٍ فَضَّلَهُ عَلَى غَيْرِهِ إِلَّا هَذَا الْيَوْمَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَهَذَا الشَّهْرَ يَعْنِي شَهْرَ رَمَضَانَ . (رواه البخاري )
Artinya: “Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata: “Tidak
pernah Aku melihat Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam begitu
bersemangat puasa pada suatu hari, ia utamakan dari yang lainnya,
kecuali hari ini yaitu hari ‘Asyura-’ dan bulan ini, yakni bulan
Ramadhan”. HR. Bukhari, no. 1867.
Dan Makna “yataharra” adalah bertekad untuk berpuasa pada hari itu agar
mendapatkan ganjarannya dan bersemangat untuk mengerjakannya.
Dan Nabi Bersabda:
صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ. (رواه مسلم :1976)
Artinya: “Berpuasa pada hari ‘Asyura-’ aku berharap kepada
Allah agar menghapuskan (dosa) tahun yang sebelumnya”. HR. Muslim, no.
1976.
Ini adalah dari kemurahaan Allah untuk kita, dengan cara Dia memberikan
kepada kita berpuasa satu hari sebagai penghapusan dosa-dosa selama satu
tahun penuh, dan Allah Ta’ala Maha mempunyai kemuliaan yang sangat
agung.
Hari apakah hari ‘Asyura-’?
An Nawawi rahimahullah berkata:
“عاشوراءُ وتاسوعاءُ اسمان ممدودان، هذا هو المشهور في كتب
اللغة. قال أصحابنا: عاشوراء هو اليوم العاشر من المحرَّم، وتاسوعاء هو
اليوم التّاسع منه.. وبه قال جُمْهُورُ العلماء.. وهو ظاهر الأحاديث ومقتضى
إطلاق اللفظ، وهو المعروف عند أهل اللغة”.
“Kata ‘Asyura-’ dan Tasu’a-’ adalah dua nama yang
dipanjangkan, inilah yang masyhur di kitab-kitab bahasa. Para shahabat
kami (dari madzhab Syafi’ie-pent) berkata: ” ‘Asyura-’ adalah hari ke
sepuluh dari bulan Al Muharram dan Tasu’a-’ adalah hari kesembilan
darinya… begitulah pendapat jumhur ulama … dan begitulah maksud yang
terlihat jelas dari beberapa hadits dan ketentuan dari muthlak
lafadznya, dan dialah yang dikenal oleh para ahli bahasa. (lihat kitab
Majmu’ karya an Nawawi)
Bulan Al Muharram adalah istilah yang ada dalam Islam tidak dikenal
zaman jahiliyah. (lihat kitab Kasysyaful Qina’ juz:2, puasa muharram ).
Ibnu Qudamah rahimahullah berkata:
عاشوراء هو اليوم العاشر من المحرم. وهذا قول سعيد بن المسيب
والحسن، لما روى ابنُ عبّاس، قال: «أمر رسول الله صلى الله عليه وسلم بصوم
يوم عاشوراء العاشر من المحرم» [رواه الترمذي. وقال: حديث حسن صحيح].
“‘Asyura-’ adalah hari kesepuluh dari bulan Muharram, dan
ini adalah pendapat Sa’id Bin Musayyib dan Hasan rahimahumallah,
sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma,
beliau berkata:
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِصَوْمِ عَاشُورَاءَ يَوْمُ الْعَاشِرِ. (رواه الترمذي)
Artinya: “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
memerintahkan untuk berpuasa hari ‘Asyura-’ hari kesepuluh dari bulan
Muharram”. Hadits riwayat Imam Tirmidzi, beliau berkata: “Hadits ini
hasan shahih”.
Dianjurkan puasa Tasu’a-’ dan ‘Asyura-’ (hari kesembilan dan kesepuluh bulan Al Muharram)
عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قال:
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ
عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّهُ
يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ
صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ
إِنْ شَاءَ اللَّهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ قَالَ فَلَمْ يَأْتِ
الْعَامُ الْمُقْبِلُ حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ. (رواه مسلم:1916 )
Artinya: “Abdullah Bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma
meriwayatkan, beliau berkata: “Ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam berpuasa pada hari ‘Asyura-’ dan memerintahkan (umatnya) untuk
berpuasa pada hari itu, mereka berkata: “Wahai Rasulullah, sesungguhnya
ini adalah hari yang diagungkan orang-orang Yahudi dan Nashrani?”, lalu
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila datang tahun
depan, jika Allah menghendaki, maka kita akan berpuasa pada hari
kesembilan”, beliau (Abdullah Bin Abbas) radhiyallahu ‘anhuma berkata:
“Dan tidaklah datang tahun depan hingga datangnya wafat Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wasallam”. HR. Muslim, no. 1916.
I
mam Syafi’ie rahimahullah, para shahabatnya, Imam Ahmad dan Ishaq rahimahumallah serta yang lainnya berkata:
“يستحب صوم التاسع والعاشر جميعاً; لأن النبي صلى الله عليه وسلم صام العاشر، ونوى صيام التاسع”.
“Dianjurkan berpuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh
kedua-duanya, karena Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam berpuasa
pada hari kesepuluh dan telah berniat berpuasa pada hari kesembilan.
Dengan penjelasan diatas maka berpuasa pada hari ‘Asyura-’ ada beberapa
tingkatan: Yang paling rendah adalah berpuasa 1 hari (kesepuluh saja),
diatasnya berpuasa pada hari kesembilan bersamanya dan tiap kali
memperbanyak berpuasa pada bulan Muharram maka itu yang lebih utama dan
lebih baik.
Hikmat dari penganjuran berpuasa pada hari Tasu’a-’
An Nawawi rahimahullah berkata:
“ذكر العلماء من أصحابنا وغيرهم في حكمة استحباب صوم تاسوعاء أوجهاً:
أَحَدُهَا: أَنَّ الْمُرَادَ مِنْهُ مُخَالَفَةُ الْيَهُودِ فِي اقْتِصَارِهِمْ عَلَى الْعَاشِرِ.
الثَّانِي: أَنَّ الْمُرَادَ بِهِ وَصْلُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ بِصَوْمٍ،
كَمَا نَهَى أَنْ يُصَامَ يَوْمُ الْجُمُعَةِ وَحْدَهُ، ذَكَرَهُمَا
الْخَطَّابِيُّ وَآخَرُونَ.
الثَّالِثَ: الاحْتِيَاطُ فِي صَوْمِ الْعَاشِرِ خَشْيَةَ نَقْصِ
الْهِلالِ، وَوُقُوعِ غَلَطٍ، فَيَكُونُ التَّاسِعُ فِي الْعَدَدِ هُوَ
الْعَاشِرُ فِي نَفْسِ الأَمْرِ”. انتهى.
“Para ulama dari sahabat kami dan yang lainnya menyebutkan hikmah di dalam penganjuran puasa hari Tasu’a-’, ada beberapa macam:
Yang pertama: bahwa maksud darinya adalah menyelisihi orang-orang Yahudi ketika mereka hanya mencukupkan hanya hari kesepuluh.
Yang kedua: bahwa maksud darinya adalah menyambung hari ‘Asyura-’ dengan
berpuasa (pada hari sebelumnya), sebagaimana dilarang untuk berpuasa
pada hari jum’at secara sendirian, kedua pendapat ini disebutkan oleh al
Khaththabi dan yang lainnya.
Yang ketiga: benar-benar menjaga untuk berpuasa pada hari kesepuluh,
karena ditakutkan awal bulan terlalu kecil atau terjadi kesalahan
(dalam penglihatan awal bulan-pent), maka hari kesembilan di dalam
jumlah sebenarnya hari kesepuluh ketika itu.” Selesai.
Dan jawaban yang paling kuat adalah menyelisihi ahli kitab, Syaikhul Islam rahimahullah berkata:
“نَهَى صلى الله عليه وسلم عَنْ التَّشَبُّهِ بِأَهْلِ
الْكِتَابِ فِي أَحَادِيثَ كَثِيرَةٍ مِثْلُ قَوْلِهِ في عَاشُورَاءَ:
«لَئِنْ عِشْتُ إلَى قَابِلٍ لاَصُومَنَّ التَّاسِعَ»”
“Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam telah melarang
untuk menyerupakan diri dengan ahli Kitab di dalam hadits-hadits yang
banyak, seperti sabda beliau:
لَئِنْ عِشْتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
Artinya: “Sungguh jika aku masih hidup pada tahun depan
maka sungguh aku akan benar-benar berpuasa pada hari kesembilan”. (lihat
al-Fatawa al-Kubra juz 6, saddudz dzara-i’ al Mufdiyah ila Al Muharram)
Berkata AL Hafizh Ibnu Hajar:
«لئن بقيت إلى قابل لأصومن التاسع» ما همّ به من صوم التاسع
يُحتمل معناه أن لا يقتصر عليه بل يُضيفه إلى اليوم العاشر إما احتياطاً له
وإما مخالفة لليهود والنصارى وهو الأرجح وبه يُشعر بعض روايات مسلم”.
“(Jika aku masih hidup sampai tahun depan, niscya aku akan
benar-benar hari kesembilan), apa yang ditekadkan oleh beliau berupa
berpuasa hari kesembilan, dapat dimungkinkan tidak dibatasi hanya
berpuasa pada (hari kesembilan)nya saja, akan tetapi sampai hari
kesepuluh (dari bulan Al Muharram), baik karena sikap kehatian-hatian
untuknya atau karena sikap menyelisihi kaum Yahudi dan Nashrani dan ini
yang pendapat yang paling, dan pendapat inilah yang diisyaratkan oleh
beberapa riwayat dari shahih Muslim.”
Hukum berpuasa hari ‘Asyura-’ saja:
Syaikhul Islam rahimahullah berkata:
“صِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ كَفَّارَةُ سَنَةٍ وَلا يُكْرَهُ إفْرَادُهُ بِالصَّوْمِ.”.
“Berpuasa pada hari ‘Asyura-’ sebagai penghapus dosa selama
1 tahun dan tidak dimakruhkan untuk mengkhususkannya dengan berpuasa…”.
Lihat kitab al Fatawa al Kubra, juz 5).
Dan di dalam kitab Tuhfatul Muhtaj karya Ibnu Hajar al Haitamy rahimahullah disebutkan:
“وعاشوراء لا بأس بإفراده..”
“Dan hari ‘Asyura-’, tidak mengapa berpuasa pada hari itu saja…”. Lihat juz:3, bab puasa sunnah).
Boleh berpuasa pada hari ‘Asyura-’ walaupun hari itu hari Sabtu atau Jum’at
Telah ada riwayat tentang larangan berpuasa pada hari Jum’at secara
tersendiri dan larangan tentang berpuasa pada hari Sabtu kecuali puasa
wajib, tetapi hilang kemakruhannya jika ia berpuasa pada dua hari ini
dengan menggambungkan satu hari ke setiap dari keduanya atau bertepatan
dengan kebiasaan yang disyari’atkan seperti berpuasa 1 hari dan berbuka 1
hari atau berpuasa sebagai nadzar atau puasa qadha-’ atau puasa yang
dianjurkan oleh agama seperti puasa hari Arafah dan hari ‘Asyura-’…
(lihat kitab Tuhfatul Muhtaj, juz 3 bab puasa sunnah dan kitab
Musykilul Aatsar, juz 2, bab puasa hari Sabtu).
Al Bahuti rahimahullah berkata:
“وَيُكْرَهُ تَعَمُّدُ إفْرَادِ يَوْمِ السَّبْتِ بِصَوْمٍ
لِحَدِيثِ عَبْدِاللَّهِ بْنِ بِشْرٍ عَنْ أُخْتِهِ: «لا تَصُومُوا يَوْمَ
السَّبْتِ إلّا فِيمَا اُفْتُرِضَ عَلَيْكُمْ» [رَوَاهُ أَحْمَدُ
بِإِسْنَادٍ جَيِّدٍ وَالْحَاكِمُ وَقَالَ: عَلَى شَرْطِ الْبُخَارِيِّ]
وَلأَنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ فَفِي إفْرَادِهِ تَشَبُّهٌ
بِهِمْ.. (إلا أَنْ يُوَافِقَ) يَوْمُ الْجُمُعَةِ أَوْ السَّبْتِ
(عَادَةً) كَأَنْ وَافَقَ يَوْمَ عَرَفَةَ أَوْ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَكَانَ
عَادَتَهُ صَوْمُهُمَا فَلا كَرَاهَةَ; لأَنَّ الْعَادَةَ لَهَا تَأْثِيرٌ
فِي ذَلِكَ”.
“Dan dimakruhkan bersengaja berpuasa pada hari Sabtu disebabkan oleh hadits Abdullah Bin Busyr dari saudara perempuannya:
لَا تَصُومُوا يَوْمَ السَّبْتِ إِلَّا فِيمَا افْتُرِضَ عَلَيْكُمْ.
Artinya: “Dan janganlah kalian berpuasa hari Sabtu kecuali
puasa yang diwajibkan bagi kalian”. (hadits riwayat Imam Ahmad dengan
sanad yang baik dan Imam hakim, beliau berkata: hadits ini berdasarkan
syarat shahih Bukhari. Dan dikarenakan ia adalah hari yang dimuliakan
oleh orang-orang Yahudi, karena pengkhususan berpuasa pada hari itu saja
ada persamaan dengan mereka… ( kecuali apabila bertepatan ) hari Jum’at
atau hari Sabtu ( biasanya) seperti bertepatan dengan hari Arafah atau
hari ‘Asyura-’ dan merupakan kebiasaannya berpuasa pada kedua hari itu
maka tidak dimakruhkan, karena suatu adat mempunyai pengaruh di dalam
hal tersebut.” Lihat kitab Kasysyaful Qina’ juz: 2, bab Puasa sunnah.
Apakah yang harus dikerjakan apabila hilal (awal bulan) belum jelas?
I
mam Ahmad rahimahullah berkata:
“فَإِنْ اشْتَبَهَ عَلَيْهِ أَوَّلُ الشَّهْرِ صَامَ ثَلاثَةَ
أَيَّامٍ. وَإِنَّمَا يَفْعَلُ ذَلِكَ لِيَتَيَقَّنَ صَوْمَ التَّاسِعِ
وَالْعَاشِرِ”.
“Dan Jika awal bulan masih samar maka ia berpuasa tiga
hari, dan sesungguhnya ia kerjakan demikian agar ia yakin pada hari
kesembilan dan kesepuluhnya.” Lihat kitab Al Mughni karya Ibnu qudamah
juz 3, shiyam – shiyam bulan ‘Asyura-’.
Barang siapa yang belum mengetahui masuk awal bulan Muharram dan ia
ingin berhati-hati untuk hari kesepuluh maka hendaklah ia menggenapkan
bulan Dzulhijjah 30 hari sebagaimana kaidah yang dikenal kemudian ia
bepuasa pada hari kesembilan dan kesepuluh. Dan barang siapa yang
menginginkan berhati-hati pada hari kesembilannnya juga maka ia berpuasa
pada hari kedelapan dan kesembilan dan kesepuluh ( kalau seandainya
Dzulhijjah sebenarnya kurang (dari 30) maka ia telah mendapatkan hari
kesembilan dan kesepuluh dengan yakin). Dan mengingat bahwa berpuasa
pada hari ‘Asyura-’ dianjurkan dan tidak diwajibkan maka manusia tidak
diperintahkan untuk benar-benar memperhatikan awal bulan sebagaimana
mereka diperintahkan untuk benar-benar awal bulan Ramadhan dan Bulan
Syawwal.
Puasa hari ‘Asyura-’, menghapuskan apa?
An Nawawi rahimahullah berkata:
“يُكَفِّرُ كُلَّ الذُّنُوبِ الصَّغَائِرِ، وَتَقْدِيرُهُ يَغْفِرُ ذُنُوبَهُ كُلَّهَا إلا الْكَبَائِرَ
“Menghapuskan dosa-dosa kecil, dan taqdirnya adalah menghapuskan dosa-dosa sipelakunya seluruhnya kecuali dosa-dosa besar”.
beliau rahimahullah berkata juga:
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ، وَيَوْمُ
عَاشُورَاءَ كَفَّارَةُ سَنَةٍ، وَإِذَا وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ
الْمَلائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ… كُلَّ وَاحِدٍ
مِنْ هَذِهِ الْمَذْكُورَاتِ صَالِحٌ لِلتَّكْفِيرِ، فَإِنْ وَجَدَ مَا
يُكَفِّرُهُ مِنْ الصَّغَائِرِ كَفَّرَهُ، وَإِنْ لَمْ يُصَادِفْ صَغِيرَةً
وَلا كَبِيرَةً كُتِبَتْ بِهِ حَسَنَاتٌ، وَرُفِعَتْ لَهُ بِهِ دَرَجَاتٌ
وَإِنْ صَادَفَ كَبِيرَةً أَوْ كَبَائِرَ وَلَمْ يُصَادِفْ صَغَائِرَ،
رَجَوْنَا أَنْ تُخَفِّفَ مِنْ الْكَبَائِرِ”.
“Puasa hari Arafah sebagai penghapus dosa dua tahun dan
puasa ‘Asyura-’ sebagai penghapus dosa satu tahun dan apabila pengucapan
“amin” nya bertepatan dengan para malaikat maka akan diampunkan baginya
dosa-dosanya yang telah… tiap dari perkara yang disebutkan ini bisa
digunakan untuk penghapus dosa, apabila ia mendapatkan sesuatu yang bisa
ia hapuskan dari dosa-dosa kecil maka ia menghapusnya dan apabila tidak
mendapatkan dosa-dosa kecil atau besar maka dituliskan dengan sebabnya
berupa kebaikan-kebaikan, dan diangkat untuknya beberapa derajat dengan
sebab itu. Dan apabila ia mendapatkan satu dosa besar atau beberapa dosa
besar dan tidak mendapatkan dosa-dosa kecil maka kita harapkan ia bisa
meringankan dosa besar.” Lihat kitab Al Majmu’ Syarah Muhadzdzab, juz:
6, puasa hari Arafah.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
“وَتَكْفِيرُ الطَّهَارَةِ، وَالصَّلَاةِ، وَصِيَامِ رَمَضَانَ، وَعَرَفَةَ، وَعَاشُورَاءَ لِلصَّغَائِرِ فَقَطْ”
“Dan penghapusan dosa (dari pahala) bersuci, shalat,
berpuasa bulan Ramadhan, puasa hari Arafah dan hari ‘Asyua-’ hanya untuk
dosa-dosa kecil saja.” Lihat kitab Al Fatawa Al Kubra, juz: 5.
Jangan terpesona dengan pahala puasa !
Beberapa orang terpesona dengan menyandarkan pahala puasa hari ‘Asyura-’
atau hari Arafah, sampai-sampai sebagian dari mereka berkata: “Puasa
hari ‘Asyura-’ menghapuskan seluruh dosa-dosa dalam satu tahun itu, dan
tersisa puasa hari Arafah bonus di dalam pahala.”
Ibnul Qayyim rahimahullah berkata:
“لَمْ يَدْرِ هَذَا الْمُغْتَرُّ أَنَّ صَوْمَ رَمَضَانَ
وَالصَّلَوَاتِ الْخَمْسَ أَعْظَمُ وَأَجَلُّ مِنْ صِيَامِ يَوْمِ عَرَفَةَ
وَيَوْمِ عَاشُورَاءَ، وَهِيَ إنَّمَا تُكَفِّرُ مَا بَيْنَهُمَا إذَا
اُجْتُنِبَتْ الْكَبَائِرُ، فَرَمَضَانُ إلَى رَمَضَانَ، وَالْجُمُعَةُ
إلَى الْجُمُعَةِ لا يَقْوَيَانِ عَلَى تَكْفِيرِ الصَّغَائِرِ إلَّا مَعَ
انْضِمَامِ تَرْكِ الْكَبَائِرِ إلَيْهَا، فَيَقْوَى مَجْمُوعُ
الأَمْرَيْنِ عَلَى تَكْفِيرِ الصَّغَائِرِ. وَمِنْ الْمَغْرُورِينَ مَنْ
يَظُنُّ أَنَّ طَاعَاتِهِ أَكْثَرُ مِنْ مَعَاصِيهِ، لاَنَّهُ لا يُحَاسِبُ
نَفْسَهُ عَلَى سَيِّئَاتِهِ، وَلا يَتَفَقَّدُ ذُنُوبَهُ، وَإِذَا عَمِلَ
طَاعَةً حَفِظَهَا وَاعْتَدَّ بِهَا، كَاَلَّذِي يَسْتَغْفِرُ اللَّهَ
بِلِسَانِهِ أَوْ يُسَبِّحُ اللَّهَ فِي الْيَوْمِ مِائَةَ مَرَّةٍ، ثُمّ
يَغْتَابُ الْمُسْلِمِينَ وَيُمَزِّقُ أَعْرَاضَهُمْ، وَيَتَكَلَّمُ بِمَا
لا يَرْضَاهُ اللَّهُ طُولَ نَهَارِهِ، فَهَذَا أَبَدًا يَتَأَمَّلُ فِي
فَضَائِلِ التَّسْبِيحَاتِ وَالتَّهْلِيلاتِ وَلا يَلْتَفِتُ إلَى مَا
وَرَدَ مِنْ عُقُوبَةِ الْمُغْتَابِينَ وَالْكَذَّابِينَ وَالنَّمَّامِينَ،
إلَى غَيْرِ ذَلِكَ مِنْ آفَاتِ اللِّسَانِ، وَذَلِكَ مَحْضُ غُرُورٍ”.
“Orang yang terperdaya ini tidak menyadari bahwa puasa
bulan Ramadhan dan shalat wajib lima waktu lebih agung dan lebih tinggi
dari berpuasa pada hari Arafah dan hari ‘Asyura-’ dan ia (shalat lima
waktu dan puasa bulan Ramadhan) menghapuskan dosa-dosa diantara keduanya
apabila ia menghindari dosa-dosa besar. Puasa Ramadhan ke puasa
Ramadhan, shalat Jum’at ke shalat Jum’at tidak berfungsi untuk
menghilangkan dosa-dosa kecil kecuali dengan menggabungkan kepadanya
penjauhan akan dosa-dosa besar dan akhirnya gabungan dari dua perkara
ini berkekuatan untuk menghapuskan dosa-dosa kecil. Dan dari orang-orang
yang terlena ada yang mengira bahwa keta’atannya lebih banyak dari
perbuatan-perbuatan maksiatnya, karena ia tidak menghisab dirinya akan
kesalahan-kesalahannya dan tidak mencri-cari akan dosa-dosanya,
sedangkan apabila ia telah mengerjakan satu keta’atan maka ia akan
menghapalnya dan menghitungnya seperti orang yang beristighfar dengan
lisannya atau bertasbih di dalam satu hari 100 kali, kemudian ia
menggunjing kaum muslimin dan merobek-robek kehormatannya dan ia
berbicara dengan sesuatu yang tidak Allah ridhai di sepanjang harinya,
maka orang ini selalu melihat keutamaan bertasbih, bertahlil dan tidak
menoleh kepada apa yang diriwayatkan dari ancaman bagi orang-orang
penggunjing, pendusta dan pengadu domba serta selain daripada itu yang
berupa penyakit-penyakit lisan, dan hal demikian itu adalah benar-benar
penipuan.” Lihat kitab Al Mausu’ah Al Fiqhiyah, juz: 31, ghurur.
Berpuasa hari ‘Asyura-’ dalam keadaan masih punya tanggungan dari puasa Ramadhan
Para Ahli Fiqh berbeda pendapat di dalam hukum mengerjakan puasa sunnah
sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan, Madzhab Hanafy berpendapat
diperbolehkan berpuasa sunnah sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan tanpa
ada kemakruhan dikarenakan menggantinya tidak wajib dengan segera dan
madzhab Maliky dan Syafi’i berpendapat diperbolehkan berpuasa dengan
kemakruhan dikarenakan akan menta’khirkan suatu yang wajib. Ad Dasuqy
berkata:
يُكْرَهُ التَّطَوُّعُ بِالصَّوْمِ لِمَنْ عَلَيْهِ صَوْمٌ
وَاجِبٌ، كَالْمَنْذُورِ وَالْقَضَاءِ وَالْكَفَّارَةِ، سَوَاءٌ كَانَ
صَوْمُ التَّطَوُّعِ الَّذِي قَدَّمَهُ عَلَى الصَّوْمِ الْوَاجِبِ غَيْرَ
مُؤَكَّدٍ أَوْ كَانَ مُؤَكَّدًا كَعَاشُورَاءَ وَتَاسِعِ ذِي الْحِجَّةِ
عَلَى الرَّاجِحِ، وَذَهَبَ الْحَنَابِلَةُ إلَى حُرْمَةِ التَّطَوُّعِ
بِالصَّوْمِ قَبْلَ قَضَاءِ رَمَضَانَ، وَعَدَمِ صِحَّةِ التَّطَوُّعِ
حِينَئِذٍ وَلَوْ اتَّسَعَ الْوَقْتُ لِلْقَضَاءِ، وَلا بُدَّ مِنْ أَنْ
يَبْدَأَ بِالْفَرْضِ حَتَّى يُقْضِيَهُ.
“Dimakruhkan berpuasa sunnat atas siapa yang mempunyai
tanggungan puasa wajib seperti orang yang bernadzar, puasa qadha, puasa
sebagai (kaffarah) penebus sesuatu, baik puasa sunnah yang ia dahulukan
dari puasa wajib itu tidak ditekankan atau ditekankan, seperti puasa
‘Asyura-’, puasa tanggal 9 dari bulan Dzulhijjah menurut pendapat yang
lebih utama. Dan Madzhab Hanbali berpendapat akan keharaman puasa sunnah
sebelum mengqadha-’ puasa Ramadhan dan tidak sahnya berpuasa sunnah
waktu itu walaupun masih panjang waktu untuk mengqadha-’. Dan diharuskan
untuk memulai dengan mengerjakan yang wajib sampai ia selesai
mengqadha-’nya.” Lihat kitab al Mausu’ah al Fiqhiyah, juz: 28, puasa
sunnah.
Maka dari itu hendaklah seorang muslim bersegera mengqadha-’ setelah
bulan Ramadhan agar memungkinkannya untuk mengerjakan puasa Arafah Dan
‘Asyura-’ tanpa ada kesulitan, dan apabila ia berpuasa hari Arafah dan
hari ‘Asyura-’ dengan niat dari malam hari mengqadha-’ maka hal yang
demikian itu telah mencukupi di dalam pengqadha-’an puasa yang wajib.
Bid’ah-bid’ah pada hari ‘Asyura-’
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah ditanya tentang perbuatan yang
dikerjakan manusia pada hari ‘Asyura-’ seperti bercelak, mandi, memakai
pacar, saling bersalaman, memasak biji-bijian dan memperlihatkan
kesenangan serta yang lainnya… Apakah yang demikian itu ada dasarnya
atau tidak?
Beliau menjawab:
الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، لَمْ يَرِدْ فِي
شَيْءٍ مِنْ ذَلِكَ حَدِيثٌ صَحِيحٌ عَنْ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم
وَلا عَنْ أَصْحَابِهِ، وَلا اسْتَحَبَّ ذَلِكَ أَحَدٌ مِنْ أَئِمَّةِ
الْمُسْلِمِينَ لا الأَئِمَّةِ الأَرْبَعَةِ وَلا غَيْرِهِمْ، وَلا رَوَى
أَهْلُ الْكُتُبِ الْمُعْتَمَدَةِ فِي ذَلِكَ شَيْئًا، لا عَنْ النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم وَلا الصَّحَابَةِ، وَلا التَّابِعِينَ، لا صَحِيحًا
وَلا ضَعِيفًا، وَلَكِنْ رَوَى بَعْضُ الْمُتَأَخِّرِينَ فِي ذَلِكَ
أَحَادِيثَ مِثْلَ مَا رَوَوْا أَنَّ مَنْ اكْتَحَلَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
لَمْ يَرْمَدْ مِنْ ذَلِكَ الْعَامِ، وَمَنْ اغْتَسَلَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
لَمْ يَمْرَضْ ذَلِكَ الْعَامِ، وَأَمْثَالِ ذَلِكَ.. وَرَوَوْا فِي
حَدِيثٍ مَوْضُوعٍ مَكْذُوبٍ عَلَى النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم:
«أَنَّهُ مَنْ وَسَّعَ عَلَى أَهْلِهِ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَسَّعَ اللَّهُ
عَلَيْهِ سَائِرَ السَّنَةِ». وَرِوَايَةُ هَذَا كُلِّهِ عَنْ النَّبِيِّ
صلى الله عليه وسلم كَذِبٌ.
“Segala puji milik Allah Rabb semesta alam, tidak ada di
dalam hal ini satu riwayat hadits shahihpun dari Nabi Muhammad , tidak
juga dari para shahabatnya, tidak dianjurkan pula oleh satupun dari para
Imam yang empat akan hal tersebut, tidak pula dari selain mereka dan
para pengarang kitab-kitab mu’tabar (terpandang) juga tidak meriwayatkan
sesuatupun dalam hal ini dan tidak dari riwayat Nabi Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari para shahabat, juga dari tabi’in,
tidak ada dari hadits yang shahih, tidak juga dari hadits yang lemah.
Tetapi sebagian orang-orang generasi terakhir telah meriwayatkan dalam
perkara ini beberapa hadits, seperti apa yang mereka riwayatkan bahwa;
“Barangsiapa yang bercelak pada hari ‘Asyura-’ maka ia tidak akan pedih
matanya pada tahun itu”, dan “Barang siapa yang mandi pada hari
‘Asyura-’ maka ia tidak akan sakit pada tahun itu” dan yang semisal
dengan itu… dan bahkan mereka telah meriwayatkan sebuah hadits palsu
mendustakan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam: “Bahwasanya
barang siapa yang bermurah atas keluarganya pada hari ‘Asyura-’ maka
Allah Akan melapangkan rizqinya sepanjang tahun”. Dan seluruh
riwayat-riwayat ini tentang Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam
adalah bohong.
Kemudian beliau rahimahullah menyebutkan secara ringkas apa yang telah
terjadi pada awal mula umat ini berupa kekacauan-kekacauan,
kejadian-kejadian dan terbunuhnya Husain radhiyallahu ‘anhuma serta apa
yang dikerjakan oleh beberapa kelompok disebabkan hal itu, beliau juga
berkata:
“فَصَارَتْ طَائِفَةٌ جَاهِلَةٌ ظَالِمَةٌ: إمَّا مُلْحِدَةٌ
مُنَافِقَةٌ، وَإِمَّا ضَالَّةٌ غَاوِيَةٌ، تُظْهِرُ مُوَالاتَهُ
وَمُوَالاةَ أَهْلِ بَيْتِهِ، تَتَّخِذُ يَوْمَ عَاشُورَاءَ يَوْمَ
مَأْتَمٍ وَحُزْنٍ وَنِيَاحَةٍ، وَتُظْهِرُ فِيهِ شِعَارَ الْجَاهِلِيَّةِ
مِنْ لَطْمِ الْخُدُودِ، وَشَقِّ الْجُيُوبِ، وَالتَّعَزِّي بِعَزَاءِ
الْجَاهِلِيَّةِ.. وَإِنْشَادِ قَصَائِدِ الْحُزْنِ، وَرِوَايَةِ
الأَخْبَارِ الَّتِي فِيهَا كَذِبٌ كَثِيرٌ وَالصِّدْقُ فِيهَا لَيْسَ
فِيهِ إلَّا تَجْدِيدُ الْحُزْنِ، وَالتَّعَصُّبُ، وَإِثَارَةُ
الشَّحْنَاءِ وَالْحَرْبِ، وَإِلْقَاءُ الْفِتَنِ بَيْنَ أَهْلِ الإسلام،
وَالتَّوَسُّلُ بِذَلِكَ إلَى سَبِّ السَّابِقِينَ الأَوَّلِينَ.. وَشَرُّ
هَؤُلاءِ وَضَرَرُهُمْ عَلَى أَهْلِ الإسلام لا يُحْصِيهِ الرَّجُلُ
الْفَصِيحُ فِي الْكَلامِ. فَعَارَضَ هَؤُلاءِ قَوْمٌ إمَّا مِنْ
النَّوَاصِبِ الْمُتَعَصِّبِينَ عَلَى الْحُسَيْنِ وَأَهْلِ بَيْتِهِ،
وَإِمَّا مِنْ الْجُهَّالِ الَّذِينَ قَابَلُوا الْفَاسِدَ بِالْفَاسِدِ،
وَالْكَذِبَ بِالْكَذِبِ، وَالشَّرَّ بِالشَّرِّ، وَالْبِدْعَةَ
بِالْبِدْعَةِ، فَوَضَعُوا الأثَارَ فِي شَعَائِرِ الْفَرَحِ وَالسُّرُورِ
يَوْمَ عَاشُورَاءَ كَالاكْتِحَالِ وَالاخْتِضَابِ، وَتَوْسِيعِ
النَّفَقَاتِ عَلَى الْعِيَالِ، وَطَبْخِ الأَطْعِمَةِ الْخَارِجَةِ عَنْ
الْعَادَةِ، وَنَحْوِ ذَلِكَ مِمَّا يُفْعَلُ فِي الأَعْيَادِ
وَالْمَوَاسِمِ، فَصَارَ هَؤُلاءِ يَتَّخِذُونَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ
مَوْسِمًا كَمَوَاسِمِ الأَعْيَادِ وَالأَفْرَاحِ، وَأُولَئِكَ
يَتَّخِذُونَهُ مَأْتَمًا يُقِيمُونَ فِيهِ الأَحْزَانَ وَالأَتْرَاحَ،
وَكِلا الطَّائِفَتَيْنِ مُخْطِئَةٌ خَارِجَةٌ عَنْ السُّنَّةِ..”
“Lalu timbullah kelompok yang bodoh dan zhalim, baik itu
kelompoknya orang mulhid munafik atau kelompok sesat yang berlebihan
yang memperlihatkan kecintaan kepadanya dan kepada Ahlu Bait, kelompok
tersebut menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai hari berkabung, kesedihan dan
ratapan. Dan kelompok itu memperlihatkan di dalam hari itu
syi’ar-syi’ar orang-orang jahiliyah berupa pemukulan wajah, pengrobekan
kantong-kantong baju, dan bertakziyah bak layaknya orang jahiliyah… dan
mensenandungkan kashidah-kashidah kesedihan, menceritakan
riwayat-riwayat yang di dalamnya terdapat penuh dengan kebohongan. Dan
tidak ada kejujuran di dalam peringatan ini kecuali saling berganti
tangis, fanatisme, penyebaran kebencian dan perperangan, menyebarkan
fitnah diantara umat Islam, menjadikan hal yang demikian itu untuk
mencaci para sahabat yang lebih dahulu masuk Islam…kesesatan dan bahaya
mereka terhadap umat Islam tidak bisa dihitung oleh orang yang fasih di
dalam berbicara, sedangkan yang menentang mereka ada beberapa kelompok,
baik itu dari orang-orang Nawashib yang sangat benci terhadap Husein dan
Ahlu Bait radhiyallahu ‘anhum atau dari orang-orang bodoh yang melawan
kerusakan dengan kerusakan, kebohongan dengan kebohongan, kejelekan
dengan kejelekan, bid’ah dengan bid’ah maka mereka membuat kabar-kabar
palsu di dalam syi’ar-syi’ar kebahagian dan kesenangan pada hari
‘Asyura-’ seperti bercelak dan memakai pacar, dan banyak memberikan
nafkah kepada keluarga, memasak makanan-makanan tidak seperti biasanya
dan seperti yang lainnya dari pekerjaan yang dikerjakan pada hari-hari
raya dan musim-musim bersejarah. Maka mereka (kelompok kedua-pent)
menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai musim hari raya dan kesenangan
sedangkan mereka (kelompok pertama) menjadikan hari ‘Asyura-’ sebagai
hari kesusahan, mereka mendirikan di dalamnya kesedihan dan kesenangan
dan keduanya telah melakukan kesalahan keluar daripada sunnah…” lihat
kitab Al Fatawa Al Kubra milik Ibnu Taimiyah rahimahullah.
Ibnu Hajj rahimahullah menyebutkan termasuk dari perbuatan-perbuatan
bid’ah hari ‘Asyura-’ adalah sengaja mengeluarkan zakat di dalamnya baik
itu diakhirkan atau di majukan (dari waktu asalnya) dan mengkhususannya
dengan menyembelih ayam dan juga para wanita memakai pacar. Lihat kitab
Al Madkhal, juz 1, hari ‘Asyura-’.
Kita memohon kepada Allah agar termasuk dari orang-orang yang berpegang
teguh dengan sunnah nabinya yang mulia, dan semoga kita di hidupkan di
atas agama Islam, diwafatkan di atas keimanan, semoga Allah memberikan
kita taufik untuk mengerjakan apa yang Dia cintai dan ridhai. Dan kita
memohon kepada Allah agar menolong kita untuk bisa mengingat-Nya,
bersyukur kepada-Nya, mengerjakan ibadah kepada-Nya dengan baik,
menerima (amal ibadah) dari kita dan menjadikan kita termasuk
orang-orang yang bertakwa dan merahmati kepada nabi kita Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam dan kepada para keluarga serta seluruh
shahabat beliau.
و الله أعلم
و صلى الله على نبينا محمد و آله و صحبه أجمعين
و الحمد لله رب العالمين
Disusun Oleh: Syekh Muhammad Shalih Munajjid -hafizhahullah-
Alih bahasa:
Ahmad Zainuddin